Jumat, 26 Maret 2010

Perkembangan Kurikulum dalam Konteks Era Globalisasi



Sering kita mendengar ungkapan pertanyaan : “ Mengapa kurikulum di negara kita sering berubah?”, dan sering juga ada pernyataan jawaban : ” Biasanya kalau ganti Menteri, ya ganti kurikulumnya”. Lantas benarkah demikian ? Mari kita melihat secara global tentang perjalanan sejarah kurikulum kita.

Dunia pendidikan kita memang sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum. Setidaknya sejak tahun 1945 sepanjang perjalanan Indonesia merdeka sudah delapan kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Rencana Pelajaran 1947, Rencana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, serta KBK. Lantas, bagaimana dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah “rahim” pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?

Jawaban terhadap semua pertanyaan itu sepertinya membuat kita sedikit gerah. Jutaan generasi datang silih-berganti memasuki tembok sekolah. Namun, kenyataan yang kita rasakan, nilai kesalehan, baik individu maupun sosial, nyaris tak terhayati dan teraplikasikan dalam kancah panggung kehidupan nyata. Yang kita saksikan, justru kian meruyaknya kasus korupsi, kolusi, manipulasi, kejahatan krah putih, atau perilaku anomali sosial lain yang dilakukan oleh orang-orang yang notabene sangat kenyang “makan sekolahan”. Yang lebih memprihatinkan, negeri kita dinilai hanya mampu menjadi bangsa “penjual” tenaga kerja murah di negeri orang. Kenyataan empiris semacam itu, disadari atau tidak, sering dijadikan sebagai indikator bahwa “rahim” pendidikan kita telah “gagal” melahirkan tenaga-tenaga ahli yang memiliki kompetensi untuk bersaing di pasar kerja, meskipun berkali-kali terjadi perubahan kurikulum.

Di tengah-tengah keprihatinan semacam itu, secara mendadak Mendiknas meluncurkan Peraturan Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan pelaksanaannya pada awal tahun ajaran 2006/2007 lalu. Melalui ketiga Permendiknas tersebut, sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA) harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berdasarkan panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Satuan pendidikan (baca: sekolah) dapat menerapkan Permendiknas tersebut mulai tahun ajaran 2006/2007 dan paling lambat pada tahun ajaran 2006/2007 semua sekolah harus sudah mulai menerapkannya.

Masih segar di ingatan, betapa gencar media massa memberitakan ihwal datangnya KTSP, dengan sambutan masyarakat antusias tak berbeda ketika mereka menyongsong KBK menjelang tahun 2004 yang lalu. Begitu pula guru. Bagi mereka kekenyangan merasakan berkali-kali pergantian kurikulum cukup bijak bagaimana harus bersikap. Agar atasan senang, dan atasannya atasan juga senang.

Sebab, mau dibawa ke mana pun kurikulum hendak diarahkan dengan segudang kiat pengembangan dan penyempurnaan terhadap kurikulum pendahulunya, tetap hanya ada satu hal yang sudah menjadi kepastian. Yaitu, para gurulah yang akan menjadi ujung-tombaknya. Bahkan kunci keberhasilan implementasi KTSP di depan para siswa di ruang-ruang kelas, ditentukan oleh bagaimana tangan-tangan terampil para pendidik profesional tersebut mengolahnya, ketimbang para pemikir dan penggagas di belakang meja-meja birokrat kantoran atau para pejabat pembuat keputusan.

Meskipun guru sebagai pendidik profesional, tetapi mereka tetap dalam keberagaman. Masing-masing memiliki keterbatasan-keterbatasan dan kelebihan-kelebihan melaksanankan pembelajaran paikem, cbsa, kuantum, ctl, i2m3, membuat makalah, laporan ptk, menguasai tik dll.
Apabila keberagaman kondisi, kualifikasi, kompetensi, dan kebutuhan guru tersebut, dipandang sering mewarnai kegagalan tujuan pergantian kurikulum, ini akibat mereka hanya diasumsikan sebagai sekelompok orang yang telah seragam keprofesionalannya. Sehingga dengan mudahnya mereka diberi kepercayaan membuat KTSP.

Persoalannya sekarang, apakah KTSP mampu mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global? Apakah KTSP mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas?

Hal itu oke-oke saja, asalkan guru benar-benar dibekali ilmu dan keterampilan menyusun kurikulum dari seorang ahli kurikulum. Kalau tidak, pengalaman para guru seperti yang diperoleh dari sosialisasi KBK beberapa tahun yang lalu, terulang lagi. Ketika itu tidak jarang terungkap pengakuan bukan basa-basi tentang belum tuntasnya kompetensi para tutor dan narasumber.

Padahal, secara bergantian mereka dikirim mengikuti penataran-penataran ke pelbagai kota. Mereka sengaja digembleng agar mampu melakukan diseminasi dalam rangka melejitkan kemampuan guru-guru untuk membuat silabus sendiri. Agar tidak mengulang kekurangan-kekurangan yang terjadi semasa berlakunya KBK Yaitu kegemaran menyontek contoh-contoh silabus dari depdiknas, ketimbang membuat silabus sendiri, termasuk rpp. Padahal kemampuan ada dan dana boleh dibilang cukup.

Jadi telah sejauh mana guru melangkah dari KBK ke KTSP?

Barangkali perlu disaksikan, bahwa baik sebelum maupun sesudah UU BHP atau UU Guru disahkan, tidak akan gampang mengajak para guru untuk berubah. Tetapi, pemerintah dan stakeholders pendidikan mesti tetap mengusahakan dan menunjukkan kapabilitas dalam memberikan fasilitas memadai demi terwujudnya peran guru dalam mengembangkan, menyempurnakan, dan mengimplementasikan KTSP secara efektif. Paling tidak jangan sampai mengabaikan atau mengecilkan makna perjuangan untuk perbaikan dan peningkatan kesejahteraan guru.

Diolah dari berbagai sumber

0 komentar:

Posting Komentar




 

© Copyright by Mahfudz moe-Zaik | Template by BloggerTemplates | Blog Trick at Blog Kota Tahu