Jumat, 26 Maret 2010

Mengubah Urin Menjadi Bahan Bakar Hidrogen




Peneliti dari Amerika telah mengembangkan cara yang efisien untuk memproduksi gas hidrogen dari urin – tentu saja hal ini menjadi salah satu alternative untuk sumber bahan bakar mobil dimasa depan melainkan juga menjadi cara untuk memperdayagunakan limbah yang dihasilkan oleh manusia.

Penggunaan gas hydrogen untuk bahan bakar mobil telah menjadi alternative bahan bakar yang penggunaannya semakin meningkat, hal ini disebabkan dengan mengggunakan gas hydrogen maka gas buang yang dihasilkan tidak mencemari lingkuangan karena yang keluar hanya uap air. Akan tetapi salah satu kendala yang dihadapi adalah kurangnya sumber gas hydrogen yang murah dan mudah diperbaharui. Gerardine Botte dari Universitas Ohio kemungkinan telah menemukan jawaban atas permasalahan tersebut, dengan menggunakan pendekatan proses elektrolisis dia berhasil menghasilkan gas hydrogen dari urin, salah satu limbah yang sangat berlimpah di bumi dan tentu saja urine ini menjadi sumber gratis sehingga dapat memangkas biaya produksi gas hydrogen.

Botte mengatakan bahwa ide ini muncul kepadanya beberapa tahun lalu pada saat dia menghadiri konferensi bahan bakar, saat itu dia mendiskusikan bagaimana cara mengubah sumber daya air menjadi sumber daya energi yang bersih. “Saya berharap kita bisa mengubah air menjadi sumber energi yang ramah lingkungan”, katanya. Dia pun mulai memikirkan dengan mencari sumber limbah yang dapat dijadikan sebagai sumber untuk menghasilkan gas hydrogen.

Kandungan urin terutama adalah urea, dimana urea ini memiliki empat atom hydrogen per molekulnya, iktan hydrogen dengan ataom N dalam urea lebih lemah dibandingkan ikatan hydrogen dengan atom O dalam air. Botte kemudian memutuskan untuk menggunakan elektrolisis untuk memecah bagian molekul urea ini dengan menggunakan elektroda berbasis nikel yang bersifat selektif dan efisien untuk mengoksidasi urea. Untuk memecah molekul urea ini diperlukan voltase sebesar 0,37 Volt yang mana voltase ini masih lebih rendah jika dibandingkan yang diperlukan untuk mengelektrolisis air yaitu sekitar 1,23 volt.

Selama proses yang terjadi urea teradsorbsi pada elektroda nikel, yang kemudian mengalirkan electron yang kemudian molekul urea terurai. Gas hydrogen murni terbentuk pada katoda, gas nitrogen dan sedikit gas oksigen dan hydrogen terbentuk di anoda. Gas karbondioksida juga dihasilkan pada saat elektrolisis akan tetapi gas ini tidak bercampur dengan gas yang dihasilkan pada anoda dan katoda disebabkan gas ini bereaksi dengan KOH membentuk kalium karbonat. “Perlu waktu bagi kami untuk menggunakan rine manusia sebagai percobaan sehingga kami bisa mempubilkasikan penelitian kami ini”, kata Botte.

Menurut Botte, proses yang ada untuk memisahkan urin dari air saat ini sangat mahal dan tidak efisien. Urin umumnya terhidrolisis menjadi amonik sebelum terlepas keudara sebagai gas ammonia. Terbentuknya gas ini akan membentuk ammonium sulfat dan partikel nitral di udara, dimana kedua zat ini dapat menyebabkan berbagai macam permasalahan bagi kesehatan manusia seperti asma, bronchitis, dan kematian dini.

Grup peneliti tersebut telah menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari sitem elektrolisis yang akan dipakai termasuk mempelajari mekanisme reaksinya secara komputasional. Botte meyakini bahwa teknologi ini akan mampu dibuat dalam skala yang besar untuk menghasilkan gas hydrogen. “salah satu kendala yang menghalangi proses adalah banyaknya garam yang ada dalam sumber urin,” kata Botte.

Bruce Logan, seorang ahli energi dari limbah dan direktur Pennsylvania State University’s H2E Center and Engineering Environmental Institute memberikan applause pada Botte yang telah memberi kontribusi atas alternative produksi hydrogen tanpa memecah molekul air. Bagaimanapun juga dia memberi suatau pernyataan bahwa urea lebih cepat diubah menjadi ammonia dengan menggunakan bakteri, hal ini tentu saja menjadi batasan penelitian yang dilakukan oleh Botte. Tapi Logan merasa bahwa ide Botte sangat bagus dengan memikirkan bagaimana cara untuk mengolah limbah urine kita tidak hanya untuk menghasilkan hydrogen akan tetapi juga untuk menghasilkan sumber lain misalnya fosfor sebagai sumber pupuk menginggat dimasa mendatang seperti halnya minyak bumi fosfor bisa menjadi barang yang langka dan kita harus memikirkan cara untuk mericycle fosfor untuk keperluan di masa datang.

Sumber : http://www.rsc.org/chemistryworld/News/2009/July/02070902.asp

sumber gambar: http://www.sxc.hu Read More !

Sejarah yang Aneh



Perhatikan, apa yang terjadi pada presiden-presiden Amerika Serikat yang terpilih pada tahun dengan akhiran “0” (nol), dengan kelipatan 20 tahun.

Tahun 1840 : William Henry Harrison (tewas di kantor)
Tahun 1860 : Abraham Lincoln (terbunuh).
Tahun 1880 : James A. Garfield (terbunuh)
Tahun 1900 : William McKinley (terbunuh)
Tahun 1920 : Warren G. Harding (tewas di kantor)
Tahun 1940 : Franklin D. Roosevelt (tewas di kantor)
Tahun 1960 : John F. Kennedy (assassinated)
Tahun 1980 : Ronald Reagan (tertembak namun berhasil diselamatkan)
Tahun 2000 : George W. Bush (???) KITA TUNGGU AJA YA…..

Kemudian selanjutnya, ada kejanggalan yang belum bisa dijelaskan…

Abraham Lincoln terpilih oleh kongres pada tahun 1846
John F. Kennedy terpilih oleh kongres pada tahun 1946
Abraham Lincoln terpilih menjadi presiden pada tahun 1860
John F. Kennedy terpilih menjadi presiden pada tahun 1960
Keduanya sama-sama ditembak, dibunuh pada hari jumat, keduanya ditembak di kepala.

Belum selesai sampai disitu, yang bertambah aneh lagi adalah…

Sekretaris Lincoln bernama Kennedy
Sekretaris Kennedy bernama Lincoln

Kedua dibunuh oleh orang selatan, keduanya juga digantikan oleh orang selatan juga, yang namanya juga sama yaitu Johnson.

Masih kelanjutan kejanggalan yang membingungkan…

Andrew Johnson, yang menggantikan Lincoln, lahir tahun 1808
Lyndon Johnson, yang menggantikan Kennedy, lahir tahun 1908
John Wilkes Booth, orang yang membunuh Lincoln, lahir pada tahun 1839
Lee Harvey Oswald, orang yang membunuh Kennedy, lahir pada tahun 1939

Yang makin menambah aneh lagi adalah…

Lincoln ditembak di theater bernama “Ford”
Kennedy ditembak dalam mobil bernama “Lincoln” buatan “Ford”
Seminggu, sebelum Lincoln ditembak, dia berada di Monroe, Maryland
Seminggu, sebelum Kennedy ditembak, dia bersama Marilyn Monroe.

DAN, SEJARAH AKAN TERUS BERULANG. ADA KEJAYAAN DAN KEMUNDURAN, MAKA KITA ADA UNTUK MENORESKAN SEJARAH. JANGAN HANYA NUMPANG LEWAT DI DUNIA SEMATA, BOLEH NUMPANG LEWAT TAPI TINGGALKAN GARIS KEMANFAATAN DAN BISA MEMBAWA KITA MENGHADAP ALLAH DENGAN PENUH KEMENANGAN. ALLAHUAKBAR!! Read More !

Perkembangan Kurikulum dalam Konteks Era Globalisasi



Sering kita mendengar ungkapan pertanyaan : “ Mengapa kurikulum di negara kita sering berubah?”, dan sering juga ada pernyataan jawaban : ” Biasanya kalau ganti Menteri, ya ganti kurikulumnya”. Lantas benarkah demikian ? Mari kita melihat secara global tentang perjalanan sejarah kurikulum kita.

Dunia pendidikan kita memang sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum. Setidaknya sejak tahun 1945 sepanjang perjalanan Indonesia merdeka sudah delapan kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Rencana Pelajaran 1947, Rencana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, serta KBK. Lantas, bagaimana dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah “rahim” pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?

Jawaban terhadap semua pertanyaan itu sepertinya membuat kita sedikit gerah. Jutaan generasi datang silih-berganti memasuki tembok sekolah. Namun, kenyataan yang kita rasakan, nilai kesalehan, baik individu maupun sosial, nyaris tak terhayati dan teraplikasikan dalam kancah panggung kehidupan nyata. Yang kita saksikan, justru kian meruyaknya kasus korupsi, kolusi, manipulasi, kejahatan krah putih, atau perilaku anomali sosial lain yang dilakukan oleh orang-orang yang notabene sangat kenyang “makan sekolahan”. Yang lebih memprihatinkan, negeri kita dinilai hanya mampu menjadi bangsa “penjual” tenaga kerja murah di negeri orang. Kenyataan empiris semacam itu, disadari atau tidak, sering dijadikan sebagai indikator bahwa “rahim” pendidikan kita telah “gagal” melahirkan tenaga-tenaga ahli yang memiliki kompetensi untuk bersaing di pasar kerja, meskipun berkali-kali terjadi perubahan kurikulum.

Di tengah-tengah keprihatinan semacam itu, secara mendadak Mendiknas meluncurkan Peraturan Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan pelaksanaannya pada awal tahun ajaran 2006/2007 lalu. Melalui ketiga Permendiknas tersebut, sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA) harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berdasarkan panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Satuan pendidikan (baca: sekolah) dapat menerapkan Permendiknas tersebut mulai tahun ajaran 2006/2007 dan paling lambat pada tahun ajaran 2006/2007 semua sekolah harus sudah mulai menerapkannya.

Masih segar di ingatan, betapa gencar media massa memberitakan ihwal datangnya KTSP, dengan sambutan masyarakat antusias tak berbeda ketika mereka menyongsong KBK menjelang tahun 2004 yang lalu. Begitu pula guru. Bagi mereka kekenyangan merasakan berkali-kali pergantian kurikulum cukup bijak bagaimana harus bersikap. Agar atasan senang, dan atasannya atasan juga senang.

Sebab, mau dibawa ke mana pun kurikulum hendak diarahkan dengan segudang kiat pengembangan dan penyempurnaan terhadap kurikulum pendahulunya, tetap hanya ada satu hal yang sudah menjadi kepastian. Yaitu, para gurulah yang akan menjadi ujung-tombaknya. Bahkan kunci keberhasilan implementasi KTSP di depan para siswa di ruang-ruang kelas, ditentukan oleh bagaimana tangan-tangan terampil para pendidik profesional tersebut mengolahnya, ketimbang para pemikir dan penggagas di belakang meja-meja birokrat kantoran atau para pejabat pembuat keputusan.

Meskipun guru sebagai pendidik profesional, tetapi mereka tetap dalam keberagaman. Masing-masing memiliki keterbatasan-keterbatasan dan kelebihan-kelebihan melaksanankan pembelajaran paikem, cbsa, kuantum, ctl, i2m3, membuat makalah, laporan ptk, menguasai tik dll.
Apabila keberagaman kondisi, kualifikasi, kompetensi, dan kebutuhan guru tersebut, dipandang sering mewarnai kegagalan tujuan pergantian kurikulum, ini akibat mereka hanya diasumsikan sebagai sekelompok orang yang telah seragam keprofesionalannya. Sehingga dengan mudahnya mereka diberi kepercayaan membuat KTSP.

Persoalannya sekarang, apakah KTSP mampu mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global? Apakah KTSP mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas?

Hal itu oke-oke saja, asalkan guru benar-benar dibekali ilmu dan keterampilan menyusun kurikulum dari seorang ahli kurikulum. Kalau tidak, pengalaman para guru seperti yang diperoleh dari sosialisasi KBK beberapa tahun yang lalu, terulang lagi. Ketika itu tidak jarang terungkap pengakuan bukan basa-basi tentang belum tuntasnya kompetensi para tutor dan narasumber.

Padahal, secara bergantian mereka dikirim mengikuti penataran-penataran ke pelbagai kota. Mereka sengaja digembleng agar mampu melakukan diseminasi dalam rangka melejitkan kemampuan guru-guru untuk membuat silabus sendiri. Agar tidak mengulang kekurangan-kekurangan yang terjadi semasa berlakunya KBK Yaitu kegemaran menyontek contoh-contoh silabus dari depdiknas, ketimbang membuat silabus sendiri, termasuk rpp. Padahal kemampuan ada dan dana boleh dibilang cukup.

Jadi telah sejauh mana guru melangkah dari KBK ke KTSP?

Barangkali perlu disaksikan, bahwa baik sebelum maupun sesudah UU BHP atau UU Guru disahkan, tidak akan gampang mengajak para guru untuk berubah. Tetapi, pemerintah dan stakeholders pendidikan mesti tetap mengusahakan dan menunjukkan kapabilitas dalam memberikan fasilitas memadai demi terwujudnya peran guru dalam mengembangkan, menyempurnakan, dan mengimplementasikan KTSP secara efektif. Paling tidak jangan sampai mengabaikan atau mengecilkan makna perjuangan untuk perbaikan dan peningkatan kesejahteraan guru.

Diolah dari berbagai sumber Read More !



 

© Copyright by Mahfudz moe-Zaik | Template by BloggerTemplates | Blog Trick at Blog Kota Tahu